Buku Papua dan Kiri merupakan mini perpustakan untuk buku bentuk pdf dan Videografi mengenai buku-buku Papua dan Kiri. Dalam eksistensi membangun materialisme, dialektika dan Historis bagi rakyat Bangsa West Papua serta untuk gerakan-gerakan rakyat tertindas

Sosialisme Abad Keduapuluh Satu: Pengalaman Amerika Latin

 

 Sosialisme

Abad Keduapuluh Satu:     
Pengalaman Amerika Latin


Kata Pengantar

Coen Husain Pontoh

BUKU kecil yang sedang Anda pegang ini, sungguh sangat menarik. Marta Harnecker, sang penulis, betul-betul memanfaatkan ruang terbatas ini dengan sebaiknya-baiknya untuk mengekspresikan gagasan-gagasan dan penafsirannya tentang apa yang disebut mantan Presiden Republik Venezuela, almarhum Hugo Chavez Friaz sebagai ‘Sosialisme Abad Keduapuluh Satu.’ 

Melalui buku ini, Harnecker membuktikan bahwa klaim tentang ‘Matinya Sosialisme’ dan ‘Liberalisme sebagai Akhir Sejarah’ adalah salah. Pada saat yang sama, ia juga menunjukkan bahwa pasca Perang Dingin, dunia bukannya semakin aman dan damai, tetapi semakin terpuruk dalam ancaman kemanusiaan akibat kemiskinan, ketidakadilan sosial, kerusakan lingkungan, rasisme, perdagangan manusia, politisasi agama, dan perang yang disebabkan oleh dianutnya ideologi kapitalisme-neoliberal.

Pengalaman Amerika Latin, sebagaimana ditunjukkan oleh studi Reygadas (2006), sejak diterapkannya kebijakan neoliberal pada 1990 hingga 2005, tingkat kesenjangan ekonomi antara kaya dan miskin di kawasan itu adalah yang terburuk di dunia. Misalnya, 10 persen lapisan teratas menerima hampir setengah (48 persen) total pendapatan, dimana di negara berkembang lainnya 10 persen teratas menerima ‘hanya’ 29.1 persen Dari tahun ke tahun, jurang pendapatan ini semakin lebar. Pada tahun 1970, satu persen penduduk kaya menerima pendapatan 363 kali dibanding satu persen penduduk miskin. Pada 1985, proporsi ini meningkat menjadi 417 kali. Pada dekadde yang sama, di tahun 1970, jumlah orang miskin mencapai 118 juta, dimana angka ini pada 1998 menyusut tinggal 82 juta orang. 
Tetapi, pada 1994 jumlah orang miskin kembali melesat menembus angka 210 juta, dan terus naik hingga mencapai 222 juta pada 2005.

Pada tingkat negara, seperti Paraguay, Brazil, Bolivia, dan Panama, mencatat rekor sebagai negara yang tingkat kesenjangan penduduknya menempati posisi teratas di planet ini. Di tingkat kota, potret kesenjangan antar penduduk juga sangat timpang. Buenos Aires, ibukota Argentina, misalnya, adalah salah satu kota dengan tingkat kesenjangan yang tertinggi di dunia. Di kota itu, rata-rata tingkat kemiskinan naik dari 4.7 persen populasi pada 1974, menjadi 57 persen seperempat abad kemudian.
Segregasi masyarakat yang disebabkan oleh penerapan kebijakan neoliberal, juga melanda sektor politik.

 Di kawasan itu, walau tidak resmi berlaku politik rasis a la Afrika Selatan, dimana selama berpuluh tahun, dominasi warga keturunan kulit putih tak tergoyahkan. Pada saat bersamaan, penduduk keturunan kulit hitam, perempuan, dan masyarakat adat menempati posisi yang sangat marjinal. 
Berlatar kepedihan akibat kebangkrutan proyek demokrasi-neoliberal, gerakan kiri-progresif Amerika Latin, tumbuh berkecambah. Namun demikian, pertumbuhan tunas-tunas baru itu lebih merupakan anak kandung kapitalisme-neoliberal, ketimbang sebagai produk gerakan kiri-lama. ’We had no contact with the traditional left,’ ujar Alvaro Garcia Linera, wakil presiden Bolivia, sekaligus mentor politik Evo Morales. Ini berarti gerakan Kiri di Amerika Latin menempuh jalannya sendiri, yakni jalan yang’..merupakan sintesa dari sosialisme, partisipasi warga negara secara luas, dan pendalaman demokrasi’ (Hersberg dan Rosen, 2006).

Jalan ini merupakan kritik terhadap nilai-nilai dan praktik-praktik demokrasi-neoliberal, dan juga sebagai kritik atas penafsiran sosialisme-birokratis model rezim Stalinis Uni Sovyet. Kita telah menyaksikan, demokrasi yang berlangsung dalam sistem kapitalisme-neoliberal akhirnya terjatuh pada mekanisme prosedural belaka. Partisipasi terbatas rakyat dalam pengambilan keputusan, terbukti tidak melahirkan transformasi sosial yang radikal. Sebaliknya, malah mengukuhkan struktur sosial-ekonomi-politik yang rasis dan diskriminatif yang dikuasai oleh oligarki. Demikian juga sosialisme minus partisipasi rakyat dan demokrasi, adalah ujung lain dari monster politik mengerikan. Atas nama keadilan dan pemerataan manfaat ekonomi, aparatus negara memiliki kontrol dan wewenang luar biasa besar dan istimewa. Itu sebabnya, sosialisme baru yang berkembang di Amerika Latin, bukanlah sosialisme yang semata-mata berorientasi negara (statism), yang berniat baik mengubah laku sosial 
masyarakat dari atas dengan partisipasi sosial yang dikontrol oleh apara-

tus negara. Tidak juga sosialisme yang berselingkuh dengan pasar, yang menundukkan kepentingan rakyat di bawah logika akumulasi profit.Meminjam rumusan Joao Machado (2004), ekonom-cum-anggota pendiri Partai Buruh Brazil, sosialisme Amerika Latin adalah sosialisme yang memberikan ruang seluas-luasnya pada rakyat terorganisir untuk melakukan kontrol terhadap mekanisme ekonomi dan manajemen politik dalam masyarakat, serta menciptakan kondisi-kondisi baru bagi perkembangan solidaritas guna mengganti laku kompetisi sebagai bentuk dasar hubungan di antara sesama. Dengan pendekatan ini, demikian Machado, ‘apapun yang memperkuat kesadaran dan organisasi buruh mandiri, serta rakyat secara umum; apapun yang menyebabkan kita terbebas dari dikotomi antara kontrol vertikal oleh negara di satu sisi dan sikap pasif warga negara di sisi lain; apapun yang menyebabkan terjadinya kontradiksi antara logika kompetisi dan pasar dengan sebagai gantinya, dimungkinkannya 
kerja sama dan mempromosikan nilai-nilai keadilan, demokrasi asli dan solidaritas, merupakan modal bagi kita untuk membangun sosialisme.’

Lalu seperti apakah sosialisme abad keduapuluh satu itu? Untuk menjawabnya, cara terbaik adalah dengan membandingkannya dengan sistem lain yang pernah ada dan yang tengah eksis saat ini. 
Ekonom Michael A. Lebowitz (2016) mengatakan bahwa sosialisme abad keduapuluh satu mengandung ciri-ciri: pertama, ia bukanlah sebuah masyarakat yang menjual kemampuan mereka untuk bekerja (their ability to work) dan diarahkan dari atas oleh mereka yang tujuannya hanya untuk 
mendapatkan keuntungan ketimbang pemuasan kebutuhan manusia; kedua, ia juga bukan sebuah masyarakat dimana pemilik alat-alat produksi (means of production) memperoleh keuntungan melalui pemisahan antara buruh dan komunitas guna menekan serendah mungkin tingkat upah sembari meningkatkan intensitas kerja, yakni memperoleh keuntungan melalui eksploitasi. Singkatnya, sosialisme abad keduapuluh satu bukanlah kapitalisme. Selanjutnya, ketiga, sosialisme abad keduapuluh satu bukanlah masyarakat negaraisme (statist society) dimana keputusan-keputusan bersifat top-down dan seluruh inisiatif merupakan hak dari pejabat negara atau kader-kader yang mengklaim dirinya sebagai pelopor (vanguard). Konskuensinya, sosialisme abad keduapuluh satu menolak ne-

gara yang berdiri di atas dan melampaui masyarakat; keempat, sosialisme abad keduapuluh satu juga bukanlah sebentuk populisme dimana masyarakat menyandarkan hidupnya pada negara dan pemimpin kharismatik, yang senantiasa berharap dan menuntut agar negara menyediakan kebutuhannya dan menjawab seluruh persoalan hidupnya. Sebaliknya, sosialisme abad keduapuluh satu justru bertumpu pada partisipasi aktif rakyat yang seluas-luasnya pada seluruh bidang kehidupannya, baik di tempat 
kerja, di lingkungan komunitas, maupun di komune. Inilah yang disebut Lebowitz sebagai demokrasi revolusioner atau demokrasi protagonistis. 

Kelima, sosialisme abad keduapuluh satu juga bukan sebuah sistem totalitarianisme dimana negara menuntut kepada masyarakat sebuah tatatan yang seragam, baik dalam aktivitas produktif, pilihan-pilihan konsumsi, atau gaya hidup. Ia juga tidak mendikte keyakinan individual, tidak juga 
memuja teknologi dan kekuatan-kekuatan produktif.Singkatnya, seperti yang dikatakan Chavez sebagaimana dikutip Harnecker dalam buku ini, sosialisme abad keduapuluh satu mengandung tiga unsur dasar: transformasi ekonomi, demokrasi partisipatif dan protagonistis dalam lapangan politik; dan etika sosialis ‘berdasarkan cinta-kasih, solidaritas, dan kesederajatan antara perempuan dan laki-laki, setiap orang. 

Garis Moderat vs Radikal

Dalam buku ini, garis politik dan metode perjuangan yang ditawarkan Harnecker untuk mewujudkan sosialisme abad keduapuluh satu jelas sekali terinspirasi dari pengalaman panjang gerakan Kiri Amerika Latin, yang membentang dari Kuba, Chile, Argentina, Brazil, Venezuela, Bolivia, 
Ekuador, Brazil, hingga Nikaragua. 

Pertanyaannya, bagaimana metode dan strategi-taktik untuk mencapai terwujudnya sosialisme abad keduapuluh satu itu? Rupanya jalan yang ditempuh untuk mewujudkannya tidak tunggal. Karena Harnecker tinggal di Venezuela, maka kita akan coba memeriksa bagaimana perdebatan mengenai metode perjuangan ini berlangsung. Dengan pemeriksaan ini, maka kita akan tahu bahwa posisi politik dan metode perjuangan yang ditempuh Harnecker hanyalah salah satu dan bukan satu-satunya jalan 
perjuangan.

Dalam rangka mewujudkan ‘Jalan Amerika Latin’, sosiolog Steve Ellner (2011) mengatakan bahwa dalam kasus Venezuela terjadi perdebatan sengit antara dua kubu gerakan Kiri, yakni kubu Radikal yang mengikuti garis Leninis dan kubu Moderat yang terinspirasi pada Antonio Gramsci. Kubu radikal dimotori oleh Roland Denis, mantan Menteri Perencanaan dalam pemerintahan Chavez periode 2002-3, dan seorang Marxis-Trotskys asal Inggris Alan Woods, yang juga merupakan salah satu penasehat 
Chavez. Sementara kubu Moderat dimotori oleh Marta Harnecker, penulis keturunan Jerman-Meksiko Heinz Dieterich, ekonom Michael A. Lebowitz, dan intelektual Kiri Argentina Luis Dilbao.

Point utama yang diperdebatkan oleh kedua kubu ini berpusar pada pertanyaan: ’bagaimana seharusnya kita memandang peran Negara dalam hubungannya dengan pembangunan masyarakat sosialis?’ Bagi kubu Radikal, untuk bisa mewujudkan masyarakat sosialis maka, seperti Lenin, tidak ada cara lain untuk menghadapi Negara kecuali dengan menghancurkannya. Bagi mereka, antara constituent power (gerakan sosial dan rakyat secara umum) dan constituted power (birokrasi negara dan pemimpin partai politik) pasti akan selalu bertentangan kepentingannya. Kedua kekuatan ini tidak mungkin bersatu bahu membahu dalam mewujudkan masyarakat sosialis. Salah satunya pasti berwatak progresif 
revolusioner dan yang lain berwatak konservatif-reaksioner. Mereka tidak percaya bahwa Negara, dalam hal ini Negara Bolivarian di bawah kepemimpinan Chavez yang merupakan warisan dari Negara lama, akan sanggup memfasilitasi dan mempromosikan apa yang disebut Ellner sebagai ‘Demokrasi berbasis-masyarakat/social-base democracy,’ yang tidak lain merupakan sosialisme abad keduapuluh satu yang dicanangkan Chavez sendiri. Dan berdasarkan pembacaan mereka atas kondisi subjektif rakyat Venezuela, mereka berkesimpulan bahwa kesadaran rakyat sudah matang untuk mengambilalih kekuasaan Negara ke dalam tangannya secara revolusioner.

Tetapi metode perjuangan kaum Radikal ini dikritik secara mendasar oleh kalangan Moderat. Mereka berpendapat bahwa penilaian dan kesimpulan kaum Radikal bahwa kesadaran rakyat sudah matang untuk merebut kekuasaan Negara secara revolusioner adalah terburu-buru. Seharusnya dipahami bahwa pencapaian-pencapaian menakjubkan yang diperoleh kelompok Chavista (pendukung Chavez) adalah buah dari perjuangan elektoral, bukan hasil dari perjuangan gerilya bersenjata yang telah terbukti 
gagal. Karena itu, strategi yang tepat dalam hubungannya dengan Negara adalah melakukan apa yang disebut Gramsci sebagai ‘Perang Posisi,’ yakni kaum revolusioner harus menduduki ruang lama dan baru yang tersedia dalam ruang publik (Ellner, 2011). Dengan strategi ini, maka berbeda dengan kaum Radikal yang menghendaki agar kalangan revolusioner harus menghancurkan kekuasaan Negara, maka kaum Moderat ini mengusulkan strategi mentransformasi kekuasaan Negara.

Dalam konteks perdebatan untuk mewujudkan sosialisme abad keduapuluh satu itulah, buku ini harus dibaca. Sebagai salah seorang penganjur utama garis Moderat, Harnecker dalam buku ini memberikan kritik-kritik yang sangat keras terhadap metode perjuangan kelompok Radikal. Misalnya, kutipan berikut ini, ‘Golongan kiri harus mengerti bahwa perannya adalah memberi orientasi, memfasilitasi, dan berjalan bersama, tetapi bukan menggantikan, gerakan-gerakan ini, dan bahwa sikap ‘vertikalis’ yang merusak inisiatif rakyat harus dilenyapkan. Sekarang dimengerti bahwa gerakan kiri harus belajar untuk mendengarkan, untuk membuat diagnosis yang tepat mengenai tahap-tahap pikiran rakyat, dan mendengar secara teliti solusi-solusi yang disampaikan oleh rakyat. Golongan kiri juga harus menyadari bahwa, untuk membantu rakyat menjadi, dan merasa bahwa mereka adalah pelaku, golongan kiri harus meninggalkan gaya pemimpin militer vertikalis menuju pendidik rakyat, yang mampu untuk mengerahkan kekuatan semua kearifan yang telah dikumpulkan rakyat.’ 

Pelajaran Untuk Kita

Ketika membaca buku ini, kita mesti sadar sepenuhnya bahwa buku ini ditulis di tengah-tengah sebuah Negara dan masyarakat yang sedang menjalani situasi revolusioner untuk mengenyahkan sistem kapitalisme-neoliberal dan mewujudkan masyarakat sosialis. Kondisi atau situasi revolusioner ini yang tidak tampak pada kita sekarang. 

Kesadaran anti kapitalisme-neoliberal masih dalam bentuk yang sangat dini, yang seringkali beririsan dengan sentimen primordialisme kesukuan dan keagamaan yang konservatif bahkan reaksioner. Walaupun harus diakui bahwa tingkat eksploitasi yang dialami oleh mayoritas rakyat Indonesia saat ini tidak lebih baik dari yang menimpa rakyat di kawasan Amerika Latin. Bahkan akibat kondisi ketertindasan itu, secara sporadis meledak aksi-aksi pemogokan, demonstrasi-demonstrasi, perlawanan tak gentar terhadap aparat keamanan, pendudukan lahan, pengambilalihan pabrik, hingga perusakan kantor-kantor pemerintah. Namun, terlalu dini untuk mengatakan bahwa kesadaran akan ketertindasan dan manifestasi perlawanan itu dibimbing oleh sebuah kesadaran revolusioner untuk mewujudkan sebuah cita masyarakat baru yang adil, makmur, dan partisipatif.


Dengan demikian, manfaat terbesar buku ini buat kita ada tiga: pertama, ia memberikan semacam gambaran tentang cita masa depan sebuah masyarakat yang seharusnya dan bisa dibangun sebagai alternatif dari sistem sosial saat ini. Alternatif di luar sistem sosial yang sekarang eksis ini ada 
dan nyata. Kedua, melalui buku ini kita bisa mempelajari tentang keragaman strategi dan taktik untuk merealisasikan cita masyarakat baru tersebut. Ketiga, buku ini mengajak kita untuk selalu mempelajari secara seksama realitas sosial di sekeliling kita secara komprehensif, dan dari sana kita merumuskan strategi dan taktik perjuangan yang tepat. 

Selamat membaca.***
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal IndoPROGRESS

Penulis  : Andre Gorz
Judul       : Sosialisme & Revolusi

Penerbit : Resit Book

Bahasa   : Indonesia

Tiktok:@tiktok_papua61

Web: https://bukupapuakiri.blogspot.com/

FB Page: https://www.facebook.com/bukupapuadankiri61

Youtube:https://www.youtube.com/channel/UC4BnGc1o9Xs3ed5DNnzkWxw

Post a Comment

[blogger]

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget