Buku Papua dan Kiri merupakan mini perpustakan untuk buku bentuk pdf dan Videografi mengenai buku-buku Papua dan Kiri. Dalam eksistensi membangun materialisme, dialektika dan Historis bagi rakyat Bangsa West Papua serta untuk gerakan-gerakan rakyat tertindas

2022

 

 Sosialisme

Abad Keduapuluh Satu:     
Pengalaman Amerika Latin


Kata Pengantar

Coen Husain Pontoh

BUKU kecil yang sedang Anda pegang ini, sungguh sangat menarik. Marta Harnecker, sang penulis, betul-betul memanfaatkan ruang terbatas ini dengan sebaiknya-baiknya untuk mengekspresikan gagasan-gagasan dan penafsirannya tentang apa yang disebut mantan Presiden Republik Venezuela, almarhum Hugo Chavez Friaz sebagai ‘Sosialisme Abad Keduapuluh Satu.’ 

Melalui buku ini, Harnecker membuktikan bahwa klaim tentang ‘Matinya Sosialisme’ dan ‘Liberalisme sebagai Akhir Sejarah’ adalah salah. Pada saat yang sama, ia juga menunjukkan bahwa pasca Perang Dingin, dunia bukannya semakin aman dan damai, tetapi semakin terpuruk dalam ancaman kemanusiaan akibat kemiskinan, ketidakadilan sosial, kerusakan lingkungan, rasisme, perdagangan manusia, politisasi agama, dan perang yang disebabkan oleh dianutnya ideologi kapitalisme-neoliberal.

Pengalaman Amerika Latin, sebagaimana ditunjukkan oleh studi Reygadas (2006), sejak diterapkannya kebijakan neoliberal pada 1990 hingga 2005, tingkat kesenjangan ekonomi antara kaya dan miskin di kawasan itu adalah yang terburuk di dunia. Misalnya, 10 persen lapisan teratas menerima hampir setengah (48 persen) total pendapatan, dimana di negara berkembang lainnya 10 persen teratas menerima ‘hanya’ 29.1 persen Dari tahun ke tahun, jurang pendapatan ini semakin lebar. Pada tahun 1970, satu persen penduduk kaya menerima pendapatan 363 kali dibanding satu persen penduduk miskin. Pada 1985, proporsi ini meningkat menjadi 417 kali. Pada dekadde yang sama, di tahun 1970, jumlah orang miskin mencapai 118 juta, dimana angka ini pada 1998 menyusut tinggal 82 juta orang. 
Tetapi, pada 1994 jumlah orang miskin kembali melesat menembus angka 210 juta, dan terus naik hingga mencapai 222 juta pada 2005.

Pada tingkat negara, seperti Paraguay, Brazil, Bolivia, dan Panama, mencatat rekor sebagai negara yang tingkat kesenjangan penduduknya menempati posisi teratas di planet ini. Di tingkat kota, potret kesenjangan antar penduduk juga sangat timpang. Buenos Aires, ibukota Argentina, misalnya, adalah salah satu kota dengan tingkat kesenjangan yang tertinggi di dunia. Di kota itu, rata-rata tingkat kemiskinan naik dari 4.7 persen populasi pada 1974, menjadi 57 persen seperempat abad kemudian.
Segregasi masyarakat yang disebabkan oleh penerapan kebijakan neoliberal, juga melanda sektor politik.

 Di kawasan itu, walau tidak resmi berlaku politik rasis a la Afrika Selatan, dimana selama berpuluh tahun, dominasi warga keturunan kulit putih tak tergoyahkan. Pada saat bersamaan, penduduk keturunan kulit hitam, perempuan, dan masyarakat adat menempati posisi yang sangat marjinal. 
Berlatar kepedihan akibat kebangkrutan proyek demokrasi-neoliberal, gerakan kiri-progresif Amerika Latin, tumbuh berkecambah. Namun demikian, pertumbuhan tunas-tunas baru itu lebih merupakan anak kandung kapitalisme-neoliberal, ketimbang sebagai produk gerakan kiri-lama. ’We had no contact with the traditional left,’ ujar Alvaro Garcia Linera, wakil presiden Bolivia, sekaligus mentor politik Evo Morales. Ini berarti gerakan Kiri di Amerika Latin menempuh jalannya sendiri, yakni jalan yang’..merupakan sintesa dari sosialisme, partisipasi warga negara secara luas, dan pendalaman demokrasi’ (Hersberg dan Rosen, 2006).

Jalan ini merupakan kritik terhadap nilai-nilai dan praktik-praktik demokrasi-neoliberal, dan juga sebagai kritik atas penafsiran sosialisme-birokratis model rezim Stalinis Uni Sovyet. Kita telah menyaksikan, demokrasi yang berlangsung dalam sistem kapitalisme-neoliberal akhirnya terjatuh pada mekanisme prosedural belaka. Partisipasi terbatas rakyat dalam pengambilan keputusan, terbukti tidak melahirkan transformasi sosial yang radikal. Sebaliknya, malah mengukuhkan struktur sosial-ekonomi-politik yang rasis dan diskriminatif yang dikuasai oleh oligarki. Demikian juga sosialisme minus partisipasi rakyat dan demokrasi, adalah ujung lain dari monster politik mengerikan. Atas nama keadilan dan pemerataan manfaat ekonomi, aparatus negara memiliki kontrol dan wewenang luar biasa besar dan istimewa. Itu sebabnya, sosialisme baru yang berkembang di Amerika Latin, bukanlah sosialisme yang semata-mata berorientasi negara (statism), yang berniat baik mengubah laku sosial 
masyarakat dari atas dengan partisipasi sosial yang dikontrol oleh apara-

tus negara. Tidak juga sosialisme yang berselingkuh dengan pasar, yang menundukkan kepentingan rakyat di bawah logika akumulasi profit.Meminjam rumusan Joao Machado (2004), ekonom-cum-anggota pendiri Partai Buruh Brazil, sosialisme Amerika Latin adalah sosialisme yang memberikan ruang seluas-luasnya pada rakyat terorganisir untuk melakukan kontrol terhadap mekanisme ekonomi dan manajemen politik dalam masyarakat, serta menciptakan kondisi-kondisi baru bagi perkembangan solidaritas guna mengganti laku kompetisi sebagai bentuk dasar hubungan di antara sesama. Dengan pendekatan ini, demikian Machado, ‘apapun yang memperkuat kesadaran dan organisasi buruh mandiri, serta rakyat secara umum; apapun yang menyebabkan kita terbebas dari dikotomi antara kontrol vertikal oleh negara di satu sisi dan sikap pasif warga negara di sisi lain; apapun yang menyebabkan terjadinya kontradiksi antara logika kompetisi dan pasar dengan sebagai gantinya, dimungkinkannya 
kerja sama dan mempromosikan nilai-nilai keadilan, demokrasi asli dan solidaritas, merupakan modal bagi kita untuk membangun sosialisme.’

Lalu seperti apakah sosialisme abad keduapuluh satu itu? Untuk menjawabnya, cara terbaik adalah dengan membandingkannya dengan sistem lain yang pernah ada dan yang tengah eksis saat ini. 
Ekonom Michael A. Lebowitz (2016) mengatakan bahwa sosialisme abad keduapuluh satu mengandung ciri-ciri: pertama, ia bukanlah sebuah masyarakat yang menjual kemampuan mereka untuk bekerja (their ability to work) dan diarahkan dari atas oleh mereka yang tujuannya hanya untuk 
mendapatkan keuntungan ketimbang pemuasan kebutuhan manusia; kedua, ia juga bukan sebuah masyarakat dimana pemilik alat-alat produksi (means of production) memperoleh keuntungan melalui pemisahan antara buruh dan komunitas guna menekan serendah mungkin tingkat upah sembari meningkatkan intensitas kerja, yakni memperoleh keuntungan melalui eksploitasi. Singkatnya, sosialisme abad keduapuluh satu bukanlah kapitalisme. Selanjutnya, ketiga, sosialisme abad keduapuluh satu bukanlah masyarakat negaraisme (statist society) dimana keputusan-keputusan bersifat top-down dan seluruh inisiatif merupakan hak dari pejabat negara atau kader-kader yang mengklaim dirinya sebagai pelopor (vanguard). Konskuensinya, sosialisme abad keduapuluh satu menolak ne-

gara yang berdiri di atas dan melampaui masyarakat; keempat, sosialisme abad keduapuluh satu juga bukanlah sebentuk populisme dimana masyarakat menyandarkan hidupnya pada negara dan pemimpin kharismatik, yang senantiasa berharap dan menuntut agar negara menyediakan kebutuhannya dan menjawab seluruh persoalan hidupnya. Sebaliknya, sosialisme abad keduapuluh satu justru bertumpu pada partisipasi aktif rakyat yang seluas-luasnya pada seluruh bidang kehidupannya, baik di tempat 
kerja, di lingkungan komunitas, maupun di komune. Inilah yang disebut Lebowitz sebagai demokrasi revolusioner atau demokrasi protagonistis. 

Kelima, sosialisme abad keduapuluh satu juga bukan sebuah sistem totalitarianisme dimana negara menuntut kepada masyarakat sebuah tatatan yang seragam, baik dalam aktivitas produktif, pilihan-pilihan konsumsi, atau gaya hidup. Ia juga tidak mendikte keyakinan individual, tidak juga 
memuja teknologi dan kekuatan-kekuatan produktif.Singkatnya, seperti yang dikatakan Chavez sebagaimana dikutip Harnecker dalam buku ini, sosialisme abad keduapuluh satu mengandung tiga unsur dasar: transformasi ekonomi, demokrasi partisipatif dan protagonistis dalam lapangan politik; dan etika sosialis ‘berdasarkan cinta-kasih, solidaritas, dan kesederajatan antara perempuan dan laki-laki, setiap orang. 

Garis Moderat vs Radikal

Dalam buku ini, garis politik dan metode perjuangan yang ditawarkan Harnecker untuk mewujudkan sosialisme abad keduapuluh satu jelas sekali terinspirasi dari pengalaman panjang gerakan Kiri Amerika Latin, yang membentang dari Kuba, Chile, Argentina, Brazil, Venezuela, Bolivia, 
Ekuador, Brazil, hingga Nikaragua. 

Pertanyaannya, bagaimana metode dan strategi-taktik untuk mencapai terwujudnya sosialisme abad keduapuluh satu itu? Rupanya jalan yang ditempuh untuk mewujudkannya tidak tunggal. Karena Harnecker tinggal di Venezuela, maka kita akan coba memeriksa bagaimana perdebatan mengenai metode perjuangan ini berlangsung. Dengan pemeriksaan ini, maka kita akan tahu bahwa posisi politik dan metode perjuangan yang ditempuh Harnecker hanyalah salah satu dan bukan satu-satunya jalan 
perjuangan.

Dalam rangka mewujudkan ‘Jalan Amerika Latin’, sosiolog Steve Ellner (2011) mengatakan bahwa dalam kasus Venezuela terjadi perdebatan sengit antara dua kubu gerakan Kiri, yakni kubu Radikal yang mengikuti garis Leninis dan kubu Moderat yang terinspirasi pada Antonio Gramsci. Kubu radikal dimotori oleh Roland Denis, mantan Menteri Perencanaan dalam pemerintahan Chavez periode 2002-3, dan seorang Marxis-Trotskys asal Inggris Alan Woods, yang juga merupakan salah satu penasehat 
Chavez. Sementara kubu Moderat dimotori oleh Marta Harnecker, penulis keturunan Jerman-Meksiko Heinz Dieterich, ekonom Michael A. Lebowitz, dan intelektual Kiri Argentina Luis Dilbao.

Point utama yang diperdebatkan oleh kedua kubu ini berpusar pada pertanyaan: ’bagaimana seharusnya kita memandang peran Negara dalam hubungannya dengan pembangunan masyarakat sosialis?’ Bagi kubu Radikal, untuk bisa mewujudkan masyarakat sosialis maka, seperti Lenin, tidak ada cara lain untuk menghadapi Negara kecuali dengan menghancurkannya. Bagi mereka, antara constituent power (gerakan sosial dan rakyat secara umum) dan constituted power (birokrasi negara dan pemimpin partai politik) pasti akan selalu bertentangan kepentingannya. Kedua kekuatan ini tidak mungkin bersatu bahu membahu dalam mewujudkan masyarakat sosialis. Salah satunya pasti berwatak progresif 
revolusioner dan yang lain berwatak konservatif-reaksioner. Mereka tidak percaya bahwa Negara, dalam hal ini Negara Bolivarian di bawah kepemimpinan Chavez yang merupakan warisan dari Negara lama, akan sanggup memfasilitasi dan mempromosikan apa yang disebut Ellner sebagai ‘Demokrasi berbasis-masyarakat/social-base democracy,’ yang tidak lain merupakan sosialisme abad keduapuluh satu yang dicanangkan Chavez sendiri. Dan berdasarkan pembacaan mereka atas kondisi subjektif rakyat Venezuela, mereka berkesimpulan bahwa kesadaran rakyat sudah matang untuk mengambilalih kekuasaan Negara ke dalam tangannya secara revolusioner.

Tetapi metode perjuangan kaum Radikal ini dikritik secara mendasar oleh kalangan Moderat. Mereka berpendapat bahwa penilaian dan kesimpulan kaum Radikal bahwa kesadaran rakyat sudah matang untuk merebut kekuasaan Negara secara revolusioner adalah terburu-buru. Seharusnya dipahami bahwa pencapaian-pencapaian menakjubkan yang diperoleh kelompok Chavista (pendukung Chavez) adalah buah dari perjuangan elektoral, bukan hasil dari perjuangan gerilya bersenjata yang telah terbukti 
gagal. Karena itu, strategi yang tepat dalam hubungannya dengan Negara adalah melakukan apa yang disebut Gramsci sebagai ‘Perang Posisi,’ yakni kaum revolusioner harus menduduki ruang lama dan baru yang tersedia dalam ruang publik (Ellner, 2011). Dengan strategi ini, maka berbeda dengan kaum Radikal yang menghendaki agar kalangan revolusioner harus menghancurkan kekuasaan Negara, maka kaum Moderat ini mengusulkan strategi mentransformasi kekuasaan Negara.

Dalam konteks perdebatan untuk mewujudkan sosialisme abad keduapuluh satu itulah, buku ini harus dibaca. Sebagai salah seorang penganjur utama garis Moderat, Harnecker dalam buku ini memberikan kritik-kritik yang sangat keras terhadap metode perjuangan kelompok Radikal. Misalnya, kutipan berikut ini, ‘Golongan kiri harus mengerti bahwa perannya adalah memberi orientasi, memfasilitasi, dan berjalan bersama, tetapi bukan menggantikan, gerakan-gerakan ini, dan bahwa sikap ‘vertikalis’ yang merusak inisiatif rakyat harus dilenyapkan. Sekarang dimengerti bahwa gerakan kiri harus belajar untuk mendengarkan, untuk membuat diagnosis yang tepat mengenai tahap-tahap pikiran rakyat, dan mendengar secara teliti solusi-solusi yang disampaikan oleh rakyat. Golongan kiri juga harus menyadari bahwa, untuk membantu rakyat menjadi, dan merasa bahwa mereka adalah pelaku, golongan kiri harus meninggalkan gaya pemimpin militer vertikalis menuju pendidik rakyat, yang mampu untuk mengerahkan kekuatan semua kearifan yang telah dikumpulkan rakyat.’ 

Pelajaran Untuk Kita

Ketika membaca buku ini, kita mesti sadar sepenuhnya bahwa buku ini ditulis di tengah-tengah sebuah Negara dan masyarakat yang sedang menjalani situasi revolusioner untuk mengenyahkan sistem kapitalisme-neoliberal dan mewujudkan masyarakat sosialis. Kondisi atau situasi revolusioner ini yang tidak tampak pada kita sekarang. 

Kesadaran anti kapitalisme-neoliberal masih dalam bentuk yang sangat dini, yang seringkali beririsan dengan sentimen primordialisme kesukuan dan keagamaan yang konservatif bahkan reaksioner. Walaupun harus diakui bahwa tingkat eksploitasi yang dialami oleh mayoritas rakyat Indonesia saat ini tidak lebih baik dari yang menimpa rakyat di kawasan Amerika Latin. Bahkan akibat kondisi ketertindasan itu, secara sporadis meledak aksi-aksi pemogokan, demonstrasi-demonstrasi, perlawanan tak gentar terhadap aparat keamanan, pendudukan lahan, pengambilalihan pabrik, hingga perusakan kantor-kantor pemerintah. Namun, terlalu dini untuk mengatakan bahwa kesadaran akan ketertindasan dan manifestasi perlawanan itu dibimbing oleh sebuah kesadaran revolusioner untuk mewujudkan sebuah cita masyarakat baru yang adil, makmur, dan partisipatif.


Dengan demikian, manfaat terbesar buku ini buat kita ada tiga: pertama, ia memberikan semacam gambaran tentang cita masa depan sebuah masyarakat yang seharusnya dan bisa dibangun sebagai alternatif dari sistem sosial saat ini. Alternatif di luar sistem sosial yang sekarang eksis ini ada 
dan nyata. Kedua, melalui buku ini kita bisa mempelajari tentang keragaman strategi dan taktik untuk merealisasikan cita masyarakat baru tersebut. Ketiga, buku ini mengajak kita untuk selalu mempelajari secara seksama realitas sosial di sekeliling kita secara komprehensif, dan dari sana kita merumuskan strategi dan taktik perjuangan yang tepat. 

Selamat membaca.***
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal IndoPROGRESS

Penulis  : Andre Gorz
Judul       : Sosialisme & Revolusi

Penerbit : Resit Book

Bahasa   : Indonesia

Tiktok:@tiktok_papua61

Web: https://bukupapuakiri.blogspot.com/

FB Page: https://www.facebook.com/bukupapuadankiri61

Youtube:https://www.youtube.com/channel/UC4BnGc1o9Xs3ed5DNnzkWxw

 

Bioregion Papua: Hutan dan Manusianya

Judul  :Buku:Bioregion Papua: Hutan dan Manusianya

Penulis : 1. Eko Cahyono

               2. Danial Dian Prawardani

               3.Aziz Fardhani Jaya, 

               4.Fikrunnia Adi Prasojo, 

               5. Ars Erwanto, 

               6. Ahmad Hamdani, 

              7. Maksum Syam, 

              8. Akbar Habibie, 

              9. Amalya Reza 

             10. Oktaviani, 

             11. Aryo Adhi Condro, 

             12. Albert Junior Ngingi

Penerbit  :Forest Watch Indonesia (FWI)

Bahasa  :Indonesia

Link Download: 1. Bioregion Papua: Hutan dan Manusianya

                           2. Bioregion Papua: Hutan dan Manusianya

KATA PENGANTAR

Bermula dari kesadaran bersama untuk melakukan “pertobatan bersama”, kami melakukan penelitian ini. Perspektif sosial-ekonomi dan agraria ada batasnya,begitupun perspektif spasial dan investigasi. Meski keduanya punya keunggulan masing-masing. Lalu, pegiat Forest Watch Indonesia (FWI) mengajak pegiat Sajogyo Institute berkolaborasi dalam aksi bersama, ‘keroyokan’ berbuat nyata untuk orang Papua dan Alamnya. Sederhana argumennya, tetapi mendasar, di tanah Papua hutan alam terakhir di Nusantara. Ekspansi kapital besar di sektor perkebunan (sawit), pertambangan, kehutanan, perikanan dan kelautan serempak berpindah dari Pulau Kalimantan dan Sumatera ke Tanah Papua. Mencipta beragam krisis sosial-ekologis akut dan masif secara multidimensi kehidupan orang Papua. Disusul dengan peningkatan angka deforestasi, kriminalisasi, eksklusi, marjinalisasi, pelanggaran HAM, dan ragam kerusakan ekologis yang semakin menonjol dari tanah Papua. 

Dalam rentang diskusi berikutnya, ada batas lain yang disadari bersama; sulit membatasi ruag lingkup studi semata Papua dan Papua Barat. Sebab, daya rusak yang sampai ke wilayah kepulauan Papua meliputi darat, laut, gunung, lembah, bukit, savana dst, maka muncullah pengembangan ruang lingkup menjadi “Bio Region Papua”. Kepulauan Aru dengan seluruh keragaman sosial-ekologisnya masuk menjadi bagian wilayah studi. Bukan semata kesadaran luasan daya rusak dari ekspansi kapital dan industri ekstraktif yang jadi pertimbangan memilih Bio Region Papua, tetapi juga kesadaran metodologis, bahwa cara melihat krisis sosial ekologis berbasis "administrasi" di daerah semakin tak mencukupi. Sebab bentang alam yang menjadi “ruang hidup” manusia Papua juga merupakan ruang ‘lintas batas’ adminsitratif desa, distrik, kabupaten bahkan provinsi. Dalihnya, “politik batasadministratif negara” hadir belakangan, sementara tata ruang adat orang sudah lebih dulu ada sejak lama. Tidak boleh dibolak-balik.

Tibalah saat menentukan apa target terjauh yang mungkin dicapai dengan seluruh potensi ‘sumberdaya’ yang dimiliki. Juga apa yang mesti menjadi target prioritas di tahun pertama dari rencana program lima tahun FWI di Papua. Ada tiga pentimbangan mengapa dipilih “Baseline Studies” di tahun awal. Pertama: masih minimnya data dan informasi terkini tentang kondisi sosial-ekonomi manusia Papua dan kondisi ekologis hutan, khususnya dengan pendekatan bioregion dan ‘transdispliner’. Kedua, banyaknya kegagalan menempatkan program di Bioregion Papua, akibat tidak ada baseline yang baik tentang dunia alam dan orang Papua. Ketiga; sebagai undangan gerakan bersama dengan gerakan masyarakat sipil di Papua dibutuhkan data dasar yang menyeluruh. Sebab, ada simpulan awal bahwa akar masalah di Bioregion Papua adalah akibat dari ‘asimetri’ informasi. Baik yang keluar “dari” dan “masuk ke” wilayah Bioregion Papua. Hasil putaran penjajakan awal studi dan ‘silaturahmi’ di hampir semua organisasi masyarakat sipil di Jayapura, Sorong dan Manokwari, selama kurang lebih tiga minggu menunjukkan bahwa masing-masing organisasi membutuhkan “amunisi” yang sama, sejenis “pusat data dan informasi’ bersama tentang kondisi hutan dan manusia Papua yang otoritatif dan bisa menjadi rujukan bersama yang bersifat dinamis (living document). Hal ini semakin menguat ketika memanggil ulang tapak historis FWI di Papua, dimana pernah ada “FWI simpul Papua”. 

Proses selanjutnya adalah tahapan ketat satu paket kelola Baseline Studies dengan persilangan tradisi riset; sosial-ekonomi dan spasial. Maka, kami memulai langkah dari satu hasil studi Tim Spasial yang menunjukkan ‘gambar besar’ bioregion Papua lengkap dengan gradasi kondisi hutan, deforestasi, dan analisa di balik ragam kerusakan sosial-ekologis dalam periodisasi sejak era Presiden Soeharto hingga Joko Widodo. Pengantar data spasial ini menjadi pijakan strategis dalam penyusunan desain riset secara keseluruhan.

Kini semua proses itu telah dilakukan. Namun, tetap saja terbuka banyak lubang kekurangan dan catatan. Setidaknya sebagai pembelajaran ke depan ada tiga titik yang mesti jadi refleksi: (1) perpaduan perspektif sosial-ekonomi dan spasial butuh peningkatan ‘dasar pengetahuan’ yang cukup dari masing-masing perspektif agar terjadi perpaduan yang lebih matang di lapangan dan dalam penulisan laporan; (2) pilihan lokasi studi perlu diperluas agar dapat mewakili representasi Bioregion Papua yang sangat beragam dan kompleks; (3) baseline dengan niat sebagai living document membutuhkan tahap lanjutan untuk menganalisa benang merah dan pola-pola umum dan khusus atas masalah dan tantangan yang dihadapi dikemudian hari. Posisi baseline studi ini jelas, membela hak-hak dasar manusia di Bioregion Papua atas sumberdaya hutan dan ruang hidupnya. Cara yang kami gunakan yaitu dengan mengundang gerakan sosial untuk bersama-sama bergerak dengan basis “politik pengetahuan” guna memperkaya jenis pembelaan advokasi hukum dan pengorganisasian massa. Semoga pesan utama ini dapat sampai melalui uraian pembahasan laporan ini. Amien. 


Direktur Eksekutif FWI

Soelthon Gussetya Nanggara


Visit our Link:

Web: https://bukupapuakiri.blogspot.com/

FB Page: https://www.facebook.com/bukupapuadankiri61

Youtube:https://www.youtube.com/channel/UC4BnGc1o9Xs3ed5DNnzkWxw


Musa Mako Tabuni Melakukan orasi politik untuk seluruh rakyat mendengarkan di tanah dan air West Papua. Sikapnya mendengarkan dan bersuara untuk kemerdekaan bangsa Papua Barat.


Silahkan simak Video Alm. Musa mako Tabuni di medang juang dan jangan lupa juga untuk mengunjunggi situs ini dan kami telah menyesiakan buku-buku yang untu di download bagi seluruh rakyat yang ingin belajar demokrasi.

My Link: 
Web: https://bukupapuakiri.blogspot.com/
FB Page: https://www.facebook.com/bukupapuadankiri61
Youtube:https://www.youtube.com/channel/UC4BnGc1o9Xs3ed5DNnzkWxw

 

Buku: Kearifan Lokal Masyarakat Hukum Adat dalam Mewujudkan
Kedaulantan Pangan diTengah Pandemi COVID 19
Judul  :Kearifan Lokal Masyarakat Hukum Adat dalam Mewujudkan Kedaulantan Pangan diTengah                  Pandemi COVID 19

Penerbit :Lembaga Studi Hukum Indonesia

Penulis :1. Dr. Ning Adashi, S.H; M.H

              2. Dr. C. Woro Murdiati R, S.H; M.HUM

              3. Dr. Rina Yulianti, S.H; M.H

Bahasa : Indonesia

Link Download:Kaerifan Lokal Masyarakat Hukum Adat dalam Mewujudkan Kedaulatan Pangan diTengah Pandemi Covid 19


Dalam Pandangan ini, selama kehiduapan masyarakat jamin dana kedaulatan menjadi ketergantungan selama pandemi covid 19. dan hal yang penting dalam pandandan ini melihat bagimana masyarakat adat dan kehidupannya yang di tekan oleh birokrasi yang berlaku.

My Link:

Web: https://bukupapuakiri.blogspot.com/

FB Page: https://www.facebook.com/bukupapuadankiri61

Youtube:https://www.youtube.com/channel/UC4BnGc1o9Xs3ed5DNnzkWxw

 

Buku Kibaran Sampari 
Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di Papua Barat

Judul :Buku: Kibaran Sampari Gerakan Pembebasan OPM dan Perang Rahasia di Papua Barat

Penerbit :Pustaka Pelajar Yogyakarta 

Penulis :1. Robin Osborne

Bahasa :Indonesia

Link Download :Buku; Kibaran Sampari Gerakan Pembebasan OPM dan Perang Rahasia di Papua Barat

Pengantar Penerbit

SEPANJANG tahun 2000 sampai memasuki tahun 2001 gerakan  OPM di Papua kelihatan mulai aktif kembali. Hal itu terlihat dari banyaknya pemberitaan mengenai OPM di media lokal maupun nasional. Meskipun begitu image OPM sebagai gerombolan bersenjata di Papua tidak mengalami perubahan, alias tidak ada wacana baru yang disodorkan oleh berita mengenai OPM. Dari berbagai berita media itu OPM tetap saja diasosiasikan sebagai kekuatan gerombolan bersenjata yang suka menculik, menyerang pos tentara atau patroli polisi, menyerang perusahaan-perusahaan kayu unruk mendapatkan perbekalan. Lebih buruk lagi adalah hampir sebagian besar berita mengenai gejolak sosial di Papua selalu diasosiasikan sebagai bagian dari OPM. Akibatnya berbagai aktivitas rakyat Papua untuk menuntut keadilan dan perhatian yang lebih secara ekonomi politik dan sosial-bu~aya dinyatakan sebagai kehendak OPM dengan sendirinya menjadi separatis.

Secara garis besar bisa dikatakan bahwa berita mengenai OPM selalu negatif. Hal itu bisa terjadi oleh tiga sebab. Pertama, mungkin ketidakpahaman banyak reporter media mengenai Papua secara sosiologis dan historis sehingga berita yang clitulisnya lebih banyak mewartakan apa yang terjadi di permukaan saja, sehingga dasar dari riak di permukaan tak pernah disentuh. Sebab kedua, mungkin pemahaman itu ada namun ruang untuk mengungkapkannya terbatas akibat ketatnya pengawasan aparat keamanan atas hal-hal yang berbau OPM. Sebab ketiga adalah langkanya literatur mengenai Papua pada umumnya dan gerakan OPM pada khususnya dalam bahasa Indonesia. 

Bagaimana pengaruh dari berita yang kurang akurat adalah sikap yang cliambil oleh Presiden RI Abdurrahman Wahid, pada bulan Maret 2001 yang, memerintahkan pembubaran organisasi OPM itu sekaligus dengan sayap militernya. Perintah Abdurrahman Wahid ini tentu aneh karena pertama OPM tidak pemah menjacli organisasi politika terbuka dan resmi di Papua; oleh karena itu langkah pembubarannya juga tidak mungkin bisa dilakukan. Kedua, kehadiran OPM tidak ditentukan oleh pengakuan resmi dari pemerintah melainkan oleh anggota-anggota dan pendukungnya sendiri yang tersebar dalam berbagai wilayah dan kelompok dengan segala keanekaragamannya dan dengan berbagai motivasi pula. Dengan demikian, OPM bukanlah barang yang padu melainkan sebuah organ perjuangan yang cair. Dalam istilah George J. Aditjondro, OPM adalah kawah candradimuka bagi banyak kalangan dalam menggodok nasionalisme Papua sekaligus menjadi alat dari tentara untuk naik pangkat. 

Buku ini berisi mengenai pandangan, sikap dan motivasi serta seluruh seluk-beluk aktivitas OPM di Papua, baik dalam bertikai di antara sesama mereka maupun dalam menyusun strategi dalam menyiasati kejaran patroli pasukan Indonesia. Lebih jauh, buku ini membongkar bagaimana pertarungan antara OPM dan tentara Indonesia dalam. menguasai wilayah Papua. Meskipun pertarungan itu tidak seimbang namun perlawanan terus dilakukan oleh OPM dengan segala  kendala dan kekurangannya. Selain itu, buku ini juga menguraikan bagaimana akal bulus pasukan Indonesia untuk menggunakan OPM sebagai alat tawar-menawar dengan Jakarta, untuk menguasai wilyah demi mendapat kenaikan pangkat atau jatah ekonomi yang lebih luas. Persoalan serius lain yang dibahas lebih dalam adalah konsekuensi dari pertarungan itu, yaitu masalah perbatasan dengan PNG

Rezim militeris-korup Orba melarang edisi bahasa Inggris buku ini beredar di Indonesia di masa lalu. Tujuan dari pelarangan itu tentu agar rakyat Indonesia dan para intelektual Indonesia tidak miliki akses informasi yang cukup mengenai sepak terjang militer dan aparat pemerintah lainnya dalam menangani Papua. Dengan demikian OPM menjadi hantu yang ditakuti dan sekaligus dijauhi. Dengan hadirnya edisi bahasa Indonesia ini pemahaman mengenai OPM dan sepak terjang militer dan kebijakan Indonesia mengenai propinsi tertimur ini bisa dikoreksi.

EISAM dalam. menerbitkan buku ini tentu bukan dalam rangka membenarkan salah satu posisi melainkan untuk memberikan gambaran yang lain mengenai Papua selama ini. Dengan hadimya buku ini, ELSAM berharap adanya satu pemahaman baru mengenai permasalahan Papua. Sehingga, dari pemaham.an baru itu hadir langkah-langkah saling pengertian untuk mencari jalan keluar dan segala rahasia yang disembunyikan oleh pemerintah bisa disimak secara bersama.

Dengan demikian, segala gerak pembebasan dari penindasan yang kini terjadi di Papua tidak lagi dihadapi dengan perang rahasia oleh tentara Indonesia. Melainkan dengan pembicaraan-pembicaraan dalam negosiasi politik terbuka sehingga deretan korban tidak bertambah dan caci maki politik bisa dihentikan. Tentu itu adalah harapan. Sebuah harapan hanya akan berarti jika ada orang yang merawa tnya. Buku ini adalah usaha untuk merawat harapan itu. Oleh karena itu, penting buku ini dibaca oleh siapa pun, baik yang mengaku Papua maupun yang menyatakan dirinya Indonesia. Terutama bagi para pengambil kebijakan baik yang berada di Papua maupun di Jakarta. 

Selain itu, penerbitan buku ini juga bertujuan untuk menjawab kehendak umum yang kini mencuat di tanah Papua, yaitu usaha meluruskan sejarah. Satu usaha yang bertujuan mengungkap segala penderitaan masa lalu demi menyusun fondasi bagi masa depan. Karena dalam menuliskan dan memahami sejarah masa lalu itulah sebuah identitas bisa ditemukan padanannya dan setiap orang bisa belajar darinya. Dengan penerbitan buku ini, ELSAM berusaha untuk mendorong kehendak itu agar apa yang dirahasiakan di Papua bisa menjadi konsumsi orang banyak di mana pun ia berada. 

Selamat membaca.• 

Jakarta Agustus 2001 

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 

My Link:

Web: https://bukupapuakiri.blogspot.com/

FB Page: https://www.facebook.com/bukupapuadankiri61

Youtube:https://www.youtube.com/channel/UC4BnGc1o9Xs3ed5DNnzkWxw

 

Buku: Belanda di Irian Barat 1945-1961

Judul     : Buku: Belanda di Irian Barat 1945-1961

Penerbit :GERBA BUDAYA

Penulis: 1. Eko Endarmoko 

              2. Jaap Erkelens

Bahasa : Indonesia

Link Download: Buku : Belanda di Irian Barat 1945-1961

Pengantar Penerbit

SELEPAS kemerdekaan Republik Indonesia, apa yang masih dicari Belanda di tanah Man Jaya? Bukankah di sana pada sekitar masa itu, berbeda dari wilayah lainnya di kawasan Nusantara, sebagian besar daerahnya masih tertutup hutan perawan, selain perang antarsuku dan tradisi mengayau masih subur? Bagaimana orang Belanda "menangani" masyarakat dari zaman batu itu? Dan sebaliknya, apa dampak kedatangan bangsa asing tersebut pada lingkungan dan sendi-sendi budaya penduduk setempat?

Sejumlah karangan dalam buku ini - aslinya berbahasa Belanda - ditulis oleh para bekas pegawai Belanda pada Departemen Dalam Negeri Nugini-Belanda yang pernah bekerja di sana, dan secara keselurahan mencakup periode genting, 1945-1962, yakni sejak Proklamasi Kemerdekaan sampai saat Man diserahkan Belanda kepada Republik. Penduduk Man Jaya sendirilah yang, sekitar tahun 1997, meminta pada Perwakilan KITLV supaya menerbitkan edisi Indonesia buku tersebut. Sudah tentu permintaan ini didorong rasa ingin tahu mereka akan pengalaman dan upaya para amtenar Belanda - sebagaimana diuraikan beberapa penulis di sini - membangun Man Jaya seraya mempersiapkan pennduduknya menyosong zaman baru.

Sekadar catatan tambahan, dalam buku ini ejaan untuk nama orang sebisanya dipertahankan dengan ejaan lama. Sedangkan nama suku dan nama geografis yang berasal dari bahasa setempat disesuaikan dengan Ejaan yang Disempurnakan, kecuali ejaan untuk nama geografis dari bahasa Belanda yang tetap sebagaimana aslinya. 

Selamat membaca.

Jakarta, Maret 2001

 

Buku: Berhala: Infrastruktur Potret
dan
Pradigma Pembangunan Papua di Masa OTSUS

Judul: Berhala: Infrastruktur Potret dan Pradigma Pembangunan Papua di Masa OTSUS

Penulis: 1. I Ngurah Suryawan

              2. Muhammad Azka Fahriza

Bahasa   : Indonesia

Penerbit :Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)

Link Download: Berhala: Infrastruktur Potret dan Pradigma Pembangunan Papua di Masa Otsus


Pengantar

PEMERINTAHAN Jokowi menjadikan Papua sebagai salah satu wilayah yang menjadi titik fokus dan perhatian utama pembangunan. Berbagai pembangunan infrastruktur di-klaim sebagai langkah nyata memperkuat perekonomian masyarakat Papua. Pembangunan jalan trans Papua yang menghubungkan provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua dan membentang dari kota Sorong di Provinsi Papua Barat hingga  Merauke di Provinsi Papua merupakan salah satu proyek besar yang digadang-gadang akan meningkatkan perekonomian masyarakat Papua, mengurangi kesenjangan pendapatan serta mengurangi tingginya harga di masing-masing wilayah.

Selain mengembangkan pembangunan infrastruktur, Pemerintahan  Jokowi juga menetapkan kerangka baru pembangunan Papua, yakni percepatan pembangunan sumber daya manusia, transformasi dan pembangunan ekonomi yang berkualitas, peningkatan dan pelestarian kualitas lingkungan hidup, serta reformasi birokrasi. Langkah dan kebijakan tersebut dilakukan guna mewujudkan masyarakat Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang maju, sejahtera, damai, dan bermartabat (Keppres No. 20 tahun 2020).

      Rencana dan orientasi Pemerintah tersebut tentunya membutuhkan upaya dan langkah yang besar untuk diwujudkan, terutama untuk meyakinkan masyarakat Papua bahwa hal tersebut bukan semata janjijanji manis, karena fakta di lapangan menunjukkan hal lain. Sampai saat  ini Papua masih menjadi wilayah terbelakang dibandingkan dengan  provinsi lainnya di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat  Indeks Pembangunan Manusia (IPM)1 di tanah Papua yang dirilis tahun  2019 memiliki peringkat paling rendah dibandingkan provinsi yang lain  berjumlah 60,84 % untuk Provinsi Papua, diikuti Provinsi Papua Barat  dengan jumlah 64,7%. Tragedi kesehatan di Asmat pada 2018 seolah  diputar ulang. Sebelum Asmat, daerah lain juga mengalami tragedi kesehatan, dalam waktu yang berulang juga. Dari tahun ke tahun, Tanah  Papua diselimuti tragedi kematian karena warganya terserang wabah penyakit dan kelaparan.

Dalam praktiknya, pembangunan di Tanah Papua yang diharapkan dapat menciptakan menciptakan keadilan, kesejahteraan dan mengurangi kesenjangan antarwilayah, justru berjalan sebaliknya. Pendekatan keamanan dan paradigma pembangunan yang berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam dan ekstraktif telah memproduksi kehancuran bagi tanah dan hutan Papua. Investasi dan proyek-proyek perkebunan telah menebas pohon-pohon hutan Papua menjadi lahan industri. Hutan yang dianggap “mama” bagi orang-orang Papua, yang menjaga alam dan kehidupan bangsa Papua dengan sendirinya hancur dan hilang secara perlahan. Pembangunan, dimaknai masyarakat Papua sebagai upaya “menyingkirkan pemilik tanah dan masyarakat adat dengan berbagai cara, termasuk dengan kekerasan”. Pembangunan yang kerap bertabrakan dengan nilai-nilai dan moda produksi yang setelah sekian lama dianut oleh orang asli Papua. Ungkapan seorang warga.

Mbaham-Matta yang tinggal di sepanjang jalan Trans-Bomberai seolah mengungkap fakta lapangan mengenai proses pembangunan di Papua “Sebagai warga masyarakat pada saat itu kami tidak dilibatkan dalam proses pembangunan jalan ini”. Situasi serupa disampaikan seorang warga Werur yang lahan kebunnya digusur untuk pembangunan bandara yang menuturkan betapa cepatnya proses penggusuran lahan warga terjadi. “Waktu datang sore itu sa ribut (marah) dorang karena dong belum bicara tapi alat berat su turung”. Namun, fakta-fakta kecil di lapangan sepertinya tidak dianggap sebagai masalah serius oleh Pemerintahan di Jakarta. Fakta-fakta tersebut seolah dianggap hal biasa yang tidak memengaruhi proses dan progres pembangunan. Padahal, secara lahan dan pasti, mengakibatkan lepas dan hilangnya lahan-lahan adat yang dimiliki secara komunal dan digunakan untuk kepentingan bersama masyarakat adat di Papua, dan dalam beberapa kasus mengakibatkan terjadinya konflik internal diantara suku-suku.

Buku yang diterbitkan ELSAM ini secara jelas dan lugas menggambarkan proses-proses pembangunan dalam skala kecil yang apabila dibiarkan terus terjadi, tidak hanya akan menjadi masalah “Papua” an sich, tetapi akan menjadi isu “Indonesia”, bahkan mungkin isu “internasional”. Bagaimana peneliti-peneliti muda Papua berhasil memotret dan membaca fakta dan kepentingan dibalik proses-proses pembangunan yang terjadi di wilayahnya. Dengan latar belakang dan perspektif yang beragam, para penulis berhasil menemukan persoalanpersoalan substansial yang harus segera direspon oleh Pemerintah terkait dengan orientasi dan rencana-rencana pembangunan untuk Papua.

Kami ucapkan terima kasih bagi para penulis yang telah meluangkan banyak waktu untuk turun ke lapangan dan menuliskan hasil pengamatannya secara cermat dan jernih. Tidak lupa kami sampaikan bahwa salah satu kontributor, Assa Asso alias Stracky Yally yang sejak awal direncanakan terlibat dalam proyek penulisan buku ini, harus gagal menyelesaikan risetnya. Stracky menjadi korban kriminalisasi dan harus menjalani proses hukum atas tuduhan melakukan tindakan makar setelah ikut serta memotret aksi anti-rasisme pada 29 Agustus 2019.

Terbitnya buku ini diharapkan dapat memantik kesadaran kritis para pegiat HAM, pemerintah dan masyarakat luas untuk secara jernih menyelami isu hak asasi manusia, lingkungan, sumber daya alam 
dan pembangunan di Tanah Papua. Sehingga, secara bersama dapat mendorong wacana dan upaya pembangunan yang mengedepankan nilai-nilai keadilan dan hak asasi manusia.

Jakarta, 10 Desember 2020
Wahyu Wagiman

Direktur Eksekutif

 

Buku Papua dan Kiri
"Papua di Ambang Kehancuran"

Penulis: 

1. Aventinus Jenaru, OFM

2. Basil Triharyanto

3. Bernard Koten

Judul : Papua di Ambang Kehancuran

Penerbit :SKPKC Fransiskan Papua 2017

Bahasa : Indonesia

Link download :Papua di Ambang Kehancuran

 Catatan: Pandangan penulisan dalam buku ini melihat terkait kontruksi negara Indonesia terhadap Papua Barat yang pada saat, sampai hari ini "Indonesia" masih melakukan operasi militer, rasisme terhadap rakyat Papua Barat, dan Indonesia menjalankan ideologisasi di tanah Papua Barat dengan pemkasaan. Bahkan kehadiran Negara Indonesia di tanah Papua Barat menjalankan system pembunuhan terhadapat rakyat Papua Barat.

Dalam catatan yang kami ini, Negara Kolonial Indonesia sedang melakukan pendekatan dan pengetahuan Negara Indonesia sendiri tanpa melibatkan rakyat asli Papua dalam menerima atau menolak Otonomi khsusus Papua Jilid II. Pada 15 July 2021 Tito Karna (menteri dalam negri RI) mewakili pemerintah Pusat RI, menyampaikan hasil dari Otsus Papua Jilid II yang di akomodir oleh Pansus Papua. di Bawa ini adalah Indonesia Memang terpaksa mengesahkan silahkan Menonton Video di bawa ini.


Nah, untuk ingin membaca buku Papua Kami sarankan juga silahkan klik ini buku Cahaya Bintang Kejora dan dalam buku ini, menjelaskan banyak pesoal mengenai sejarah bangsa Papua Barat yang belum tuntas dalam negara ini. Maka, dengan itu silahkan buka link kami juga Buku Papua dan Kiri.

Dengan rekomendasi dari beberapa literasi ini,sebagai bahan material untuk melawan segala keburukan negara kolonial Indonesia. Silahkan menyimak. Kawan.

Pengesahan ini dilakukan oleh Pemerintah Indonesia tanpa persetujuan rakyat Bangsa Papua Barat, tepat pada 15 July 2021. Pansus Papua yang terdiri dengan OAP (Pemerintah) serta Pemerintah Pusat Indonesia mempunyai niat pemaksaan kepada rakyat Papua Barat untuk memaksakan Rakyat Papua Menerima itu.

Silahkan Kunjunggi ke Link: Buku Papua dan Kiri

Dalam situs ini, kami menyediakan buku-buku yang dapat di Download dan menyediakan juga Video yang bisa di tonton untuk perlawanan rakyat yang lebih luas. Bahkan, kami menyediakan beberapa Link yang perlu anda kunjunggi:

 

Saksi Sejarah Perang Dunia II
Di Kab.Tembraw

Penulis   : 1. Ana M. F. Patera

                  2. Devy P. Usmany

                  3. Saberia

                  4. Rosmaida Sinaga

Penerbit : Kepel Press

Judul       : Saksi Sejarah Perang Dunia II

                    Di Tamberaw Papua 

Link        : Saksi Sejarah Perang Dunia II di Tamberaw

Pembebasan Perempuan
Feminisme, Revolusi Kelas
dan Anarkisme

Penulis                : 1. Sara M. Evans
                                2. Deirdre Hogan

Penerbit              : Pustaka Osiris

Judul                    : Pembebasan Perempuan
                               Feminisme, Revolusi Kelas
                                   dan Anarkisme

Bahasa                :Indonesia

Pandemi Covid-19
Kapitalisme
&
Sosialisme

 Penulis   : 1. In'amul Musshoffa

                    2. Muhammad Nur Fitriyansha

                    3. M. Rahmad Hidayatuloh

                    4.Miftahu Ainin Jariyah

                    5. Mugammad Afif Nurwan

                    6. Liham Fathur IImi

                    7. Ahmad Gatra Nusantara

                    8. Habdul Afidz Ahmed

Penerbit : Instrans Institute

Judul       : Pandemi Covid-19 Kapitalisme &                           Sosialisme

Bahasa   : Indonesia

Link download: Pendemi Covid-19 Kapitalisme & Sosialisme

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget