Buku: Berhala: Infrastruktur Potret dan Pradigma Pembangunan Papua di Masa OTSUS |
Judul: Berhala: Infrastruktur Potret dan Pradigma Pembangunan Papua di Masa OTSUS
Penulis: 1. I Ngurah Suryawan
2. Muhammad Azka Fahriza
Bahasa : Indonesia
Penerbit :Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
Link Download: Berhala: Infrastruktur Potret dan Pradigma Pembangunan Papua di Masa Otsus
Pengantar
PEMERINTAHAN Jokowi menjadikan Papua sebagai salah satu wilayah yang menjadi titik fokus dan perhatian utama pembangunan. Berbagai pembangunan infrastruktur di-klaim sebagai langkah nyata memperkuat perekonomian masyarakat Papua. Pembangunan jalan trans Papua yang menghubungkan provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua dan membentang dari kota Sorong di Provinsi Papua Barat hingga Merauke di Provinsi Papua merupakan salah satu proyek besar yang digadang-gadang akan meningkatkan perekonomian masyarakat Papua, mengurangi kesenjangan pendapatan serta mengurangi tingginya harga di masing-masing wilayah.
Selain mengembangkan pembangunan infrastruktur, Pemerintahan Jokowi juga menetapkan kerangka baru pembangunan Papua, yakni percepatan pembangunan sumber daya manusia, transformasi dan pembangunan ekonomi yang berkualitas, peningkatan dan pelestarian kualitas lingkungan hidup, serta reformasi birokrasi. Langkah dan kebijakan tersebut dilakukan guna mewujudkan masyarakat Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang maju, sejahtera, damai, dan bermartabat (Keppres No. 20 tahun 2020).
Rencana dan orientasi Pemerintah tersebut tentunya membutuhkan upaya dan langkah yang besar untuk diwujudkan, terutama untuk meyakinkan masyarakat Papua bahwa hal tersebut bukan semata janjijanji manis, karena fakta di lapangan menunjukkan hal lain. Sampai saat ini Papua masih menjadi wilayah terbelakang dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indeks Pembangunan Manusia (IPM)1 di tanah Papua yang dirilis tahun 2019 memiliki peringkat paling rendah dibandingkan provinsi yang lain berjumlah 60,84 % untuk Provinsi Papua, diikuti Provinsi Papua Barat dengan jumlah 64,7%. Tragedi kesehatan di Asmat pada 2018 seolah diputar ulang. Sebelum Asmat, daerah lain juga mengalami tragedi kesehatan, dalam waktu yang berulang juga. Dari tahun ke tahun, Tanah Papua diselimuti tragedi kematian karena warganya terserang wabah penyakit dan kelaparan.
Dalam praktiknya, pembangunan di Tanah Papua yang diharapkan dapat menciptakan menciptakan keadilan, kesejahteraan dan mengurangi kesenjangan antarwilayah, justru berjalan sebaliknya. Pendekatan keamanan dan paradigma pembangunan yang berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam dan ekstraktif telah memproduksi kehancuran bagi tanah dan hutan Papua. Investasi dan proyek-proyek perkebunan telah menebas pohon-pohon hutan Papua menjadi lahan industri. Hutan yang dianggap “mama” bagi orang-orang Papua, yang menjaga alam dan kehidupan bangsa Papua dengan sendirinya hancur dan hilang secara perlahan. Pembangunan, dimaknai masyarakat Papua sebagai upaya “menyingkirkan pemilik tanah dan masyarakat adat dengan berbagai cara, termasuk dengan kekerasan”. Pembangunan yang kerap bertabrakan dengan nilai-nilai dan moda produksi yang setelah sekian lama dianut oleh orang asli Papua. Ungkapan seorang warga.
Mbaham-Matta yang tinggal di sepanjang jalan Trans-Bomberai seolah mengungkap fakta lapangan mengenai proses pembangunan di Papua “Sebagai warga masyarakat pada saat itu kami tidak dilibatkan dalam proses pembangunan jalan ini”. Situasi serupa disampaikan seorang warga Werur yang lahan kebunnya digusur untuk pembangunan bandara yang menuturkan betapa cepatnya proses penggusuran lahan warga terjadi. “Waktu datang sore itu sa ribut (marah) dorang karena dong belum bicara tapi alat berat su turung”. Namun, fakta-fakta kecil di lapangan sepertinya tidak dianggap sebagai masalah serius oleh Pemerintahan di Jakarta. Fakta-fakta tersebut seolah dianggap hal biasa yang tidak memengaruhi proses dan progres pembangunan. Padahal, secara lahan dan pasti, mengakibatkan lepas dan hilangnya lahan-lahan adat yang dimiliki secara komunal dan digunakan untuk kepentingan bersama masyarakat adat di Papua, dan dalam beberapa kasus mengakibatkan terjadinya konflik internal diantara suku-suku.
Buku yang diterbitkan ELSAM ini secara jelas dan lugas menggambarkan proses-proses pembangunan dalam skala kecil yang apabila dibiarkan terus terjadi, tidak hanya akan menjadi masalah “Papua” an sich, tetapi akan menjadi isu “Indonesia”, bahkan mungkin isu “internasional”. Bagaimana peneliti-peneliti muda Papua berhasil memotret dan membaca fakta dan kepentingan dibalik proses-proses pembangunan yang terjadi di wilayahnya. Dengan latar belakang dan perspektif yang beragam, para penulis berhasil menemukan persoalanpersoalan substansial yang harus segera direspon oleh Pemerintah terkait dengan orientasi dan rencana-rencana pembangunan untuk Papua.
Kami ucapkan terima kasih bagi para penulis yang telah meluangkan banyak waktu untuk turun ke lapangan dan menuliskan hasil pengamatannya secara cermat dan jernih. Tidak lupa kami sampaikan bahwa salah satu kontributor, Assa Asso alias Stracky Yally yang sejak awal direncanakan terlibat dalam proyek penulisan buku ini, harus gagal menyelesaikan risetnya. Stracky menjadi korban kriminalisasi dan harus menjalani proses hukum atas tuduhan melakukan tindakan makar setelah ikut serta memotret aksi anti-rasisme pada 29 Agustus 2019.
Post a Comment