Buku Papua dan Kiri merupakan mini perpustakan untuk buku bentuk pdf dan Videografi mengenai buku-buku Papua dan Kiri. Dalam eksistensi membangun materialisme, dialektika dan Historis bagi rakyat Bangsa West Papua serta untuk gerakan-gerakan rakyat tertindas

March 2022

 

Bioregion Papua: Hutan dan Manusianya

Judul  :Buku:Bioregion Papua: Hutan dan Manusianya

Penulis : 1. Eko Cahyono

               2. Danial Dian Prawardani

               3.Aziz Fardhani Jaya, 

               4.Fikrunnia Adi Prasojo, 

               5. Ars Erwanto, 

               6. Ahmad Hamdani, 

              7. Maksum Syam, 

              8. Akbar Habibie, 

              9. Amalya Reza 

             10. Oktaviani, 

             11. Aryo Adhi Condro, 

             12. Albert Junior Ngingi

Penerbit  :Forest Watch Indonesia (FWI)

Bahasa  :Indonesia

Link Download: 1. Bioregion Papua: Hutan dan Manusianya

                           2. Bioregion Papua: Hutan dan Manusianya

KATA PENGANTAR

Bermula dari kesadaran bersama untuk melakukan “pertobatan bersama”, kami melakukan penelitian ini. Perspektif sosial-ekonomi dan agraria ada batasnya,begitupun perspektif spasial dan investigasi. Meski keduanya punya keunggulan masing-masing. Lalu, pegiat Forest Watch Indonesia (FWI) mengajak pegiat Sajogyo Institute berkolaborasi dalam aksi bersama, ‘keroyokan’ berbuat nyata untuk orang Papua dan Alamnya. Sederhana argumennya, tetapi mendasar, di tanah Papua hutan alam terakhir di Nusantara. Ekspansi kapital besar di sektor perkebunan (sawit), pertambangan, kehutanan, perikanan dan kelautan serempak berpindah dari Pulau Kalimantan dan Sumatera ke Tanah Papua. Mencipta beragam krisis sosial-ekologis akut dan masif secara multidimensi kehidupan orang Papua. Disusul dengan peningkatan angka deforestasi, kriminalisasi, eksklusi, marjinalisasi, pelanggaran HAM, dan ragam kerusakan ekologis yang semakin menonjol dari tanah Papua. 

Dalam rentang diskusi berikutnya, ada batas lain yang disadari bersama; sulit membatasi ruag lingkup studi semata Papua dan Papua Barat. Sebab, daya rusak yang sampai ke wilayah kepulauan Papua meliputi darat, laut, gunung, lembah, bukit, savana dst, maka muncullah pengembangan ruang lingkup menjadi “Bio Region Papua”. Kepulauan Aru dengan seluruh keragaman sosial-ekologisnya masuk menjadi bagian wilayah studi. Bukan semata kesadaran luasan daya rusak dari ekspansi kapital dan industri ekstraktif yang jadi pertimbangan memilih Bio Region Papua, tetapi juga kesadaran metodologis, bahwa cara melihat krisis sosial ekologis berbasis "administrasi" di daerah semakin tak mencukupi. Sebab bentang alam yang menjadi “ruang hidup” manusia Papua juga merupakan ruang ‘lintas batas’ adminsitratif desa, distrik, kabupaten bahkan provinsi. Dalihnya, “politik batasadministratif negara” hadir belakangan, sementara tata ruang adat orang sudah lebih dulu ada sejak lama. Tidak boleh dibolak-balik.

Tibalah saat menentukan apa target terjauh yang mungkin dicapai dengan seluruh potensi ‘sumberdaya’ yang dimiliki. Juga apa yang mesti menjadi target prioritas di tahun pertama dari rencana program lima tahun FWI di Papua. Ada tiga pentimbangan mengapa dipilih “Baseline Studies” di tahun awal. Pertama: masih minimnya data dan informasi terkini tentang kondisi sosial-ekonomi manusia Papua dan kondisi ekologis hutan, khususnya dengan pendekatan bioregion dan ‘transdispliner’. Kedua, banyaknya kegagalan menempatkan program di Bioregion Papua, akibat tidak ada baseline yang baik tentang dunia alam dan orang Papua. Ketiga; sebagai undangan gerakan bersama dengan gerakan masyarakat sipil di Papua dibutuhkan data dasar yang menyeluruh. Sebab, ada simpulan awal bahwa akar masalah di Bioregion Papua adalah akibat dari ‘asimetri’ informasi. Baik yang keluar “dari” dan “masuk ke” wilayah Bioregion Papua. Hasil putaran penjajakan awal studi dan ‘silaturahmi’ di hampir semua organisasi masyarakat sipil di Jayapura, Sorong dan Manokwari, selama kurang lebih tiga minggu menunjukkan bahwa masing-masing organisasi membutuhkan “amunisi” yang sama, sejenis “pusat data dan informasi’ bersama tentang kondisi hutan dan manusia Papua yang otoritatif dan bisa menjadi rujukan bersama yang bersifat dinamis (living document). Hal ini semakin menguat ketika memanggil ulang tapak historis FWI di Papua, dimana pernah ada “FWI simpul Papua”. 

Proses selanjutnya adalah tahapan ketat satu paket kelola Baseline Studies dengan persilangan tradisi riset; sosial-ekonomi dan spasial. Maka, kami memulai langkah dari satu hasil studi Tim Spasial yang menunjukkan ‘gambar besar’ bioregion Papua lengkap dengan gradasi kondisi hutan, deforestasi, dan analisa di balik ragam kerusakan sosial-ekologis dalam periodisasi sejak era Presiden Soeharto hingga Joko Widodo. Pengantar data spasial ini menjadi pijakan strategis dalam penyusunan desain riset secara keseluruhan.

Kini semua proses itu telah dilakukan. Namun, tetap saja terbuka banyak lubang kekurangan dan catatan. Setidaknya sebagai pembelajaran ke depan ada tiga titik yang mesti jadi refleksi: (1) perpaduan perspektif sosial-ekonomi dan spasial butuh peningkatan ‘dasar pengetahuan’ yang cukup dari masing-masing perspektif agar terjadi perpaduan yang lebih matang di lapangan dan dalam penulisan laporan; (2) pilihan lokasi studi perlu diperluas agar dapat mewakili representasi Bioregion Papua yang sangat beragam dan kompleks; (3) baseline dengan niat sebagai living document membutuhkan tahap lanjutan untuk menganalisa benang merah dan pola-pola umum dan khusus atas masalah dan tantangan yang dihadapi dikemudian hari. Posisi baseline studi ini jelas, membela hak-hak dasar manusia di Bioregion Papua atas sumberdaya hutan dan ruang hidupnya. Cara yang kami gunakan yaitu dengan mengundang gerakan sosial untuk bersama-sama bergerak dengan basis “politik pengetahuan” guna memperkaya jenis pembelaan advokasi hukum dan pengorganisasian massa. Semoga pesan utama ini dapat sampai melalui uraian pembahasan laporan ini. Amien. 


Direktur Eksekutif FWI

Soelthon Gussetya Nanggara


Visit our Link:

Web: https://bukupapuakiri.blogspot.com/

FB Page: https://www.facebook.com/bukupapuadankiri61

Youtube:https://www.youtube.com/channel/UC4BnGc1o9Xs3ed5DNnzkWxw


Musa Mako Tabuni Melakukan orasi politik untuk seluruh rakyat mendengarkan di tanah dan air West Papua. Sikapnya mendengarkan dan bersuara untuk kemerdekaan bangsa Papua Barat.


Silahkan simak Video Alm. Musa mako Tabuni di medang juang dan jangan lupa juga untuk mengunjunggi situs ini dan kami telah menyesiakan buku-buku yang untu di download bagi seluruh rakyat yang ingin belajar demokrasi.

My Link: 
Web: https://bukupapuakiri.blogspot.com/
FB Page: https://www.facebook.com/bukupapuadankiri61
Youtube:https://www.youtube.com/channel/UC4BnGc1o9Xs3ed5DNnzkWxw

 

Buku: Kearifan Lokal Masyarakat Hukum Adat dalam Mewujudkan
Kedaulantan Pangan diTengah Pandemi COVID 19
Judul  :Kearifan Lokal Masyarakat Hukum Adat dalam Mewujudkan Kedaulantan Pangan diTengah                  Pandemi COVID 19

Penerbit :Lembaga Studi Hukum Indonesia

Penulis :1. Dr. Ning Adashi, S.H; M.H

              2. Dr. C. Woro Murdiati R, S.H; M.HUM

              3. Dr. Rina Yulianti, S.H; M.H

Bahasa : Indonesia

Link Download:Kaerifan Lokal Masyarakat Hukum Adat dalam Mewujudkan Kedaulatan Pangan diTengah Pandemi Covid 19


Dalam Pandangan ini, selama kehiduapan masyarakat jamin dana kedaulatan menjadi ketergantungan selama pandemi covid 19. dan hal yang penting dalam pandandan ini melihat bagimana masyarakat adat dan kehidupannya yang di tekan oleh birokrasi yang berlaku.

My Link:

Web: https://bukupapuakiri.blogspot.com/

FB Page: https://www.facebook.com/bukupapuadankiri61

Youtube:https://www.youtube.com/channel/UC4BnGc1o9Xs3ed5DNnzkWxw

 

Buku Kibaran Sampari 
Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di Papua Barat

Judul :Buku: Kibaran Sampari Gerakan Pembebasan OPM dan Perang Rahasia di Papua Barat

Penerbit :Pustaka Pelajar Yogyakarta 

Penulis :1. Robin Osborne

Bahasa :Indonesia

Link Download :Buku; Kibaran Sampari Gerakan Pembebasan OPM dan Perang Rahasia di Papua Barat

Pengantar Penerbit

SEPANJANG tahun 2000 sampai memasuki tahun 2001 gerakan  OPM di Papua kelihatan mulai aktif kembali. Hal itu terlihat dari banyaknya pemberitaan mengenai OPM di media lokal maupun nasional. Meskipun begitu image OPM sebagai gerombolan bersenjata di Papua tidak mengalami perubahan, alias tidak ada wacana baru yang disodorkan oleh berita mengenai OPM. Dari berbagai berita media itu OPM tetap saja diasosiasikan sebagai kekuatan gerombolan bersenjata yang suka menculik, menyerang pos tentara atau patroli polisi, menyerang perusahaan-perusahaan kayu unruk mendapatkan perbekalan. Lebih buruk lagi adalah hampir sebagian besar berita mengenai gejolak sosial di Papua selalu diasosiasikan sebagai bagian dari OPM. Akibatnya berbagai aktivitas rakyat Papua untuk menuntut keadilan dan perhatian yang lebih secara ekonomi politik dan sosial-bu~aya dinyatakan sebagai kehendak OPM dengan sendirinya menjadi separatis.

Secara garis besar bisa dikatakan bahwa berita mengenai OPM selalu negatif. Hal itu bisa terjadi oleh tiga sebab. Pertama, mungkin ketidakpahaman banyak reporter media mengenai Papua secara sosiologis dan historis sehingga berita yang clitulisnya lebih banyak mewartakan apa yang terjadi di permukaan saja, sehingga dasar dari riak di permukaan tak pernah disentuh. Sebab kedua, mungkin pemahaman itu ada namun ruang untuk mengungkapkannya terbatas akibat ketatnya pengawasan aparat keamanan atas hal-hal yang berbau OPM. Sebab ketiga adalah langkanya literatur mengenai Papua pada umumnya dan gerakan OPM pada khususnya dalam bahasa Indonesia. 

Bagaimana pengaruh dari berita yang kurang akurat adalah sikap yang cliambil oleh Presiden RI Abdurrahman Wahid, pada bulan Maret 2001 yang, memerintahkan pembubaran organisasi OPM itu sekaligus dengan sayap militernya. Perintah Abdurrahman Wahid ini tentu aneh karena pertama OPM tidak pemah menjacli organisasi politika terbuka dan resmi di Papua; oleh karena itu langkah pembubarannya juga tidak mungkin bisa dilakukan. Kedua, kehadiran OPM tidak ditentukan oleh pengakuan resmi dari pemerintah melainkan oleh anggota-anggota dan pendukungnya sendiri yang tersebar dalam berbagai wilayah dan kelompok dengan segala keanekaragamannya dan dengan berbagai motivasi pula. Dengan demikian, OPM bukanlah barang yang padu melainkan sebuah organ perjuangan yang cair. Dalam istilah George J. Aditjondro, OPM adalah kawah candradimuka bagi banyak kalangan dalam menggodok nasionalisme Papua sekaligus menjadi alat dari tentara untuk naik pangkat. 

Buku ini berisi mengenai pandangan, sikap dan motivasi serta seluruh seluk-beluk aktivitas OPM di Papua, baik dalam bertikai di antara sesama mereka maupun dalam menyusun strategi dalam menyiasati kejaran patroli pasukan Indonesia. Lebih jauh, buku ini membongkar bagaimana pertarungan antara OPM dan tentara Indonesia dalam. menguasai wilayah Papua. Meskipun pertarungan itu tidak seimbang namun perlawanan terus dilakukan oleh OPM dengan segala  kendala dan kekurangannya. Selain itu, buku ini juga menguraikan bagaimana akal bulus pasukan Indonesia untuk menggunakan OPM sebagai alat tawar-menawar dengan Jakarta, untuk menguasai wilyah demi mendapat kenaikan pangkat atau jatah ekonomi yang lebih luas. Persoalan serius lain yang dibahas lebih dalam adalah konsekuensi dari pertarungan itu, yaitu masalah perbatasan dengan PNG

Rezim militeris-korup Orba melarang edisi bahasa Inggris buku ini beredar di Indonesia di masa lalu. Tujuan dari pelarangan itu tentu agar rakyat Indonesia dan para intelektual Indonesia tidak miliki akses informasi yang cukup mengenai sepak terjang militer dan aparat pemerintah lainnya dalam menangani Papua. Dengan demikian OPM menjadi hantu yang ditakuti dan sekaligus dijauhi. Dengan hadirnya edisi bahasa Indonesia ini pemahaman mengenai OPM dan sepak terjang militer dan kebijakan Indonesia mengenai propinsi tertimur ini bisa dikoreksi.

EISAM dalam. menerbitkan buku ini tentu bukan dalam rangka membenarkan salah satu posisi melainkan untuk memberikan gambaran yang lain mengenai Papua selama ini. Dengan hadimya buku ini, ELSAM berharap adanya satu pemahaman baru mengenai permasalahan Papua. Sehingga, dari pemaham.an baru itu hadir langkah-langkah saling pengertian untuk mencari jalan keluar dan segala rahasia yang disembunyikan oleh pemerintah bisa disimak secara bersama.

Dengan demikian, segala gerak pembebasan dari penindasan yang kini terjadi di Papua tidak lagi dihadapi dengan perang rahasia oleh tentara Indonesia. Melainkan dengan pembicaraan-pembicaraan dalam negosiasi politik terbuka sehingga deretan korban tidak bertambah dan caci maki politik bisa dihentikan. Tentu itu adalah harapan. Sebuah harapan hanya akan berarti jika ada orang yang merawa tnya. Buku ini adalah usaha untuk merawat harapan itu. Oleh karena itu, penting buku ini dibaca oleh siapa pun, baik yang mengaku Papua maupun yang menyatakan dirinya Indonesia. Terutama bagi para pengambil kebijakan baik yang berada di Papua maupun di Jakarta. 

Selain itu, penerbitan buku ini juga bertujuan untuk menjawab kehendak umum yang kini mencuat di tanah Papua, yaitu usaha meluruskan sejarah. Satu usaha yang bertujuan mengungkap segala penderitaan masa lalu demi menyusun fondasi bagi masa depan. Karena dalam menuliskan dan memahami sejarah masa lalu itulah sebuah identitas bisa ditemukan padanannya dan setiap orang bisa belajar darinya. Dengan penerbitan buku ini, ELSAM berusaha untuk mendorong kehendak itu agar apa yang dirahasiakan di Papua bisa menjadi konsumsi orang banyak di mana pun ia berada. 

Selamat membaca.• 

Jakarta Agustus 2001 

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 

My Link:

Web: https://bukupapuakiri.blogspot.com/

FB Page: https://www.facebook.com/bukupapuadankiri61

Youtube:https://www.youtube.com/channel/UC4BnGc1o9Xs3ed5DNnzkWxw

 

Buku: Belanda di Irian Barat 1945-1961

Judul     : Buku: Belanda di Irian Barat 1945-1961

Penerbit :GERBA BUDAYA

Penulis: 1. Eko Endarmoko 

              2. Jaap Erkelens

Bahasa : Indonesia

Link Download: Buku : Belanda di Irian Barat 1945-1961

Pengantar Penerbit

SELEPAS kemerdekaan Republik Indonesia, apa yang masih dicari Belanda di tanah Man Jaya? Bukankah di sana pada sekitar masa itu, berbeda dari wilayah lainnya di kawasan Nusantara, sebagian besar daerahnya masih tertutup hutan perawan, selain perang antarsuku dan tradisi mengayau masih subur? Bagaimana orang Belanda "menangani" masyarakat dari zaman batu itu? Dan sebaliknya, apa dampak kedatangan bangsa asing tersebut pada lingkungan dan sendi-sendi budaya penduduk setempat?

Sejumlah karangan dalam buku ini - aslinya berbahasa Belanda - ditulis oleh para bekas pegawai Belanda pada Departemen Dalam Negeri Nugini-Belanda yang pernah bekerja di sana, dan secara keselurahan mencakup periode genting, 1945-1962, yakni sejak Proklamasi Kemerdekaan sampai saat Man diserahkan Belanda kepada Republik. Penduduk Man Jaya sendirilah yang, sekitar tahun 1997, meminta pada Perwakilan KITLV supaya menerbitkan edisi Indonesia buku tersebut. Sudah tentu permintaan ini didorong rasa ingin tahu mereka akan pengalaman dan upaya para amtenar Belanda - sebagaimana diuraikan beberapa penulis di sini - membangun Man Jaya seraya mempersiapkan pennduduknya menyosong zaman baru.

Sekadar catatan tambahan, dalam buku ini ejaan untuk nama orang sebisanya dipertahankan dengan ejaan lama. Sedangkan nama suku dan nama geografis yang berasal dari bahasa setempat disesuaikan dengan Ejaan yang Disempurnakan, kecuali ejaan untuk nama geografis dari bahasa Belanda yang tetap sebagaimana aslinya. 

Selamat membaca.

Jakarta, Maret 2001

 

Buku: Berhala: Infrastruktur Potret
dan
Pradigma Pembangunan Papua di Masa OTSUS

Judul: Berhala: Infrastruktur Potret dan Pradigma Pembangunan Papua di Masa OTSUS

Penulis: 1. I Ngurah Suryawan

              2. Muhammad Azka Fahriza

Bahasa   : Indonesia

Penerbit :Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)

Link Download: Berhala: Infrastruktur Potret dan Pradigma Pembangunan Papua di Masa Otsus


Pengantar

PEMERINTAHAN Jokowi menjadikan Papua sebagai salah satu wilayah yang menjadi titik fokus dan perhatian utama pembangunan. Berbagai pembangunan infrastruktur di-klaim sebagai langkah nyata memperkuat perekonomian masyarakat Papua. Pembangunan jalan trans Papua yang menghubungkan provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua dan membentang dari kota Sorong di Provinsi Papua Barat hingga  Merauke di Provinsi Papua merupakan salah satu proyek besar yang digadang-gadang akan meningkatkan perekonomian masyarakat Papua, mengurangi kesenjangan pendapatan serta mengurangi tingginya harga di masing-masing wilayah.

Selain mengembangkan pembangunan infrastruktur, Pemerintahan  Jokowi juga menetapkan kerangka baru pembangunan Papua, yakni percepatan pembangunan sumber daya manusia, transformasi dan pembangunan ekonomi yang berkualitas, peningkatan dan pelestarian kualitas lingkungan hidup, serta reformasi birokrasi. Langkah dan kebijakan tersebut dilakukan guna mewujudkan masyarakat Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang maju, sejahtera, damai, dan bermartabat (Keppres No. 20 tahun 2020).

      Rencana dan orientasi Pemerintah tersebut tentunya membutuhkan upaya dan langkah yang besar untuk diwujudkan, terutama untuk meyakinkan masyarakat Papua bahwa hal tersebut bukan semata janjijanji manis, karena fakta di lapangan menunjukkan hal lain. Sampai saat  ini Papua masih menjadi wilayah terbelakang dibandingkan dengan  provinsi lainnya di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat  Indeks Pembangunan Manusia (IPM)1 di tanah Papua yang dirilis tahun  2019 memiliki peringkat paling rendah dibandingkan provinsi yang lain  berjumlah 60,84 % untuk Provinsi Papua, diikuti Provinsi Papua Barat  dengan jumlah 64,7%. Tragedi kesehatan di Asmat pada 2018 seolah  diputar ulang. Sebelum Asmat, daerah lain juga mengalami tragedi kesehatan, dalam waktu yang berulang juga. Dari tahun ke tahun, Tanah  Papua diselimuti tragedi kematian karena warganya terserang wabah penyakit dan kelaparan.

Dalam praktiknya, pembangunan di Tanah Papua yang diharapkan dapat menciptakan menciptakan keadilan, kesejahteraan dan mengurangi kesenjangan antarwilayah, justru berjalan sebaliknya. Pendekatan keamanan dan paradigma pembangunan yang berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam dan ekstraktif telah memproduksi kehancuran bagi tanah dan hutan Papua. Investasi dan proyek-proyek perkebunan telah menebas pohon-pohon hutan Papua menjadi lahan industri. Hutan yang dianggap “mama” bagi orang-orang Papua, yang menjaga alam dan kehidupan bangsa Papua dengan sendirinya hancur dan hilang secara perlahan. Pembangunan, dimaknai masyarakat Papua sebagai upaya “menyingkirkan pemilik tanah dan masyarakat adat dengan berbagai cara, termasuk dengan kekerasan”. Pembangunan yang kerap bertabrakan dengan nilai-nilai dan moda produksi yang setelah sekian lama dianut oleh orang asli Papua. Ungkapan seorang warga.

Mbaham-Matta yang tinggal di sepanjang jalan Trans-Bomberai seolah mengungkap fakta lapangan mengenai proses pembangunan di Papua “Sebagai warga masyarakat pada saat itu kami tidak dilibatkan dalam proses pembangunan jalan ini”. Situasi serupa disampaikan seorang warga Werur yang lahan kebunnya digusur untuk pembangunan bandara yang menuturkan betapa cepatnya proses penggusuran lahan warga terjadi. “Waktu datang sore itu sa ribut (marah) dorang karena dong belum bicara tapi alat berat su turung”. Namun, fakta-fakta kecil di lapangan sepertinya tidak dianggap sebagai masalah serius oleh Pemerintahan di Jakarta. Fakta-fakta tersebut seolah dianggap hal biasa yang tidak memengaruhi proses dan progres pembangunan. Padahal, secara lahan dan pasti, mengakibatkan lepas dan hilangnya lahan-lahan adat yang dimiliki secara komunal dan digunakan untuk kepentingan bersama masyarakat adat di Papua, dan dalam beberapa kasus mengakibatkan terjadinya konflik internal diantara suku-suku.

Buku yang diterbitkan ELSAM ini secara jelas dan lugas menggambarkan proses-proses pembangunan dalam skala kecil yang apabila dibiarkan terus terjadi, tidak hanya akan menjadi masalah “Papua” an sich, tetapi akan menjadi isu “Indonesia”, bahkan mungkin isu “internasional”. Bagaimana peneliti-peneliti muda Papua berhasil memotret dan membaca fakta dan kepentingan dibalik proses-proses pembangunan yang terjadi di wilayahnya. Dengan latar belakang dan perspektif yang beragam, para penulis berhasil menemukan persoalanpersoalan substansial yang harus segera direspon oleh Pemerintah terkait dengan orientasi dan rencana-rencana pembangunan untuk Papua.

Kami ucapkan terima kasih bagi para penulis yang telah meluangkan banyak waktu untuk turun ke lapangan dan menuliskan hasil pengamatannya secara cermat dan jernih. Tidak lupa kami sampaikan bahwa salah satu kontributor, Assa Asso alias Stracky Yally yang sejak awal direncanakan terlibat dalam proyek penulisan buku ini, harus gagal menyelesaikan risetnya. Stracky menjadi korban kriminalisasi dan harus menjalani proses hukum atas tuduhan melakukan tindakan makar setelah ikut serta memotret aksi anti-rasisme pada 29 Agustus 2019.

Terbitnya buku ini diharapkan dapat memantik kesadaran kritis para pegiat HAM, pemerintah dan masyarakat luas untuk secara jernih menyelami isu hak asasi manusia, lingkungan, sumber daya alam 
dan pembangunan di Tanah Papua. Sehingga, secara bersama dapat mendorong wacana dan upaya pembangunan yang mengedepankan nilai-nilai keadilan dan hak asasi manusia.

Jakarta, 10 Desember 2020
Wahyu Wagiman

Direktur Eksekutif

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget